Image by Kwartetwo

  • Info Lowongan Kerja - UPDATE

    Masjid saka tunggal (1288)

    Pintu Gerbang Masjid saka tunggal (1288)
    KWARTETWO.COM:  Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas sudah banyak dikenal orang karena keunikannya. Arsitektur masjid yang sudah berumur ratusan tahun ini tak kalah hebat dengan bangunan jaman sekarang. Dengan hanya mengandalkan pada kekuatan satu tiang utama sebagai penopang atapnya masjid yang dibuat oleh Kiai Tolih, asal Banyuwangi ini mampu bertahan ratusan tahun. Dan sejak tahun 1980 masjid ini ditetapkan menjadi benda cagar budaya.
        Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah saka tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut dibuat dari bagian dalam (galih) kayu jati berukir motif bunga warna-warni. Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak.
        Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut kemungkinan besar melambangkan papat kiblat lima pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.
        Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
        Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh.
        Hidup itu harus seimbang. Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah,
    mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
        Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid yang sejak tahun 1980 ditetapkan sebagai cagar budaya Banyumas tersebut adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imam. Begitu juga tongkat khotbah yang berada satu paket dengan mimbar tersebut.
        “Akan tetapi, tongkat yang ada di masjid saat ini hanya replikanya. Tongkat aslinya saya simpan di tempat yang aman, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, karena tongkat itu memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi,” lanjutnya.
        Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
        Kekhasan masjid ini yang masih ada adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. “Sebenarnya untuk atap sempat terjadi beberapa kali pergantian bahan, mulai dari seng hingga asbes. Akan tetapi saat era
    kepemimpinan Bupati Djoko Sudantoko, atap masjid dikembalikan seperti aslinya, yakni menggunakan
    ijuk,” jelas Bambang.
        Seperti penyebaran Islam di tanah Jawa lainnya yang tak lepas dari pengaruh budaya sebelumnya. Khusus di Jawa, agama Hindu dan Budha merupakan agama yang sudah terlebih dulu dipeluk oleh masyarakat. Tak heran, jika kemudian banyak terjadi akulturasi antara kebudayaan agama-agama tersebut.
        Di desa Cikakak kecamatan Wangon, bukti akulturasi itu juga masih  terlihat sampai sekarang. Yang kasat mata tentu saja bentuk bangunan masjid dan ornamen serta bahan pembuatnya. "Bentuk limasan pada atap masjid saka tunggal adalah budaya asli Jawa yang mendapat pengaruh Hindu-Budha," ungkap Sugeng Priyadi, dosen ilmu sejarah UMP.
        Pengaruh Hindu menurutnya juga sangat tampak pada bahan pembuat atap masjid Saka Tunggal. "Atap dari ijuk adalah merupakan bukti bahwa pengaruh Hindu-Budha masih sangat kental pada bangunan masjid Saka Tunggal," sambung dosen yang punya spesialisasi sejarah Banyumas dan sekitarnya ini.
        Menurutnya, bukti itu masih bisa dilihat di Bali. "Candi-candi dan tempat berdoa di Bali menggunakan ijuk sebagai atapnya. Tidak seperti candi-candi di Jawa yang seluruhnya menggunakan batu sebagai bahan bangunannya," katanya.
        Bukti produk akulturasi Hindu-Budha-Jawa dan Islam adalah jenis aliran yang dianut warga setempat. Sesuai keterangan juru kunci dalem masjid Saka Tunggal, Bambang Jauhari, Islam yang berkembang di Cikakak dan sekitarnya adalah produk akulturasi budaya Jawa dan Islam. "Menurut saya, hampir tidak mungkin melaksanakan Islam secara saklek dan persis sama dengan yang diturunkan Allah di Arab sana. Karena itulah mungkin para leluhur kami menyesuaikannya dengan warisan budaya Jawa. Proses akulturasi ini yang kemudian memunculkan aliran Aboge (Alif Rebo Wage)," terangnya.
        Hingga hari ini, aliran Aboge masih eksis di daerah ini. Mereka hidup rukun berdampingan dengan aliran NU maupun Muhamadiyah yang juga diyakini oleh warga desa setempat.

    0 komentar:

      © Kwartetwo.com Didirikan Oleh Alan Maulana 2010

    Back to TOP  

    IP